MELAWAN sebuah kebebasan beragama di negara yang sebagian besar
Muslim sejak kemerdekaan Uni Soviet pada tahun 1991, pemerintah sekuler
Tajikistan baru-baru ini telah mengkritik orang-orang yang mengenakan
jilbab, dan menghubungkannya dengan pakaian pelacur.
“Lihatlah pakaian ini, Anda bisa memakainya di sebuah pesta atau acara khusus, tetapi mereka (pemerintah) melarang pakaian ini,” kata salah satu pedagang mengatakan kepada EurasiaNet.org seperti dikutip Onislam Kamis (2/4/2015).
Serangan terhadap jilbab telah berulang setelah Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon mengkritik wanita yang memakai jilbab adalah pakaian “asing”.
Menandai perayaan hari Ibu Nasional di Tajikistan tanggal 8 Maret lalu, Rahmon mengkritik melalui pidatonya bahwa cadar hitam berhubungan dengan Islam konservatif dan tidak diterima di Tajikistan.
Tiga hari setelah pidato itu, televisi pemerintah menyiarkan tayangan membeberkan kisah-kisah pekerja seks yang bersembunyi dibalik jilbab.
Wanita dalam tayangan televisi, sambil menutupi wajahnya mereka dengan kerudung, mengatakan bahwa mereka mendapatkan lebih banyak uang dengan mengenakan jilbab, dan jilbab membuat mereka lebih menarik bagi klien potensial.
Beberapa hari kemudian, inspektur pajak dan polisi Tajikistan melakukan sidak di pasar Sadbarg Dushanbe dan mengatakan kepada salah seorang pemilik toko yang menjual pakaian Islam untuk berhenti.
Salah satu pedagang mengatakan jika ia masih membuka tokonya akan dikenakan denda sekitar $ 1750.
“Saya tidak akan membayar denda ini. Bahkan tidak ada penjelasan resmi saya harus membayar.”
Sementara pedagang lainnya, Nasiba Kholmurodova menuturkan “Ketika saya menjual sesuatu, saya tidak tahu apa yang wanita akan lakukan dengan itu. Saya tidak mengatakan padanya untuk membeli jilbab dan menjadi seorang pelacur,”
Muslim Tajikistan menuduh Rahmon menjalankan sistem otoriter yang memaksa mereka untuk meninggalkan agama mereka.
“Ini adalah kehendak Tuhan. Kita tidak bisa dan tidak berhak untuk menolaknya,” kata Muso Akobirov seorang pekerja imigran yang melakukan perjalanan ke Rusia untuk bekerja musiman.
Akobirov mengeluhkan bahwa ia dan Muslim lainnya tidak memiliki suara dalam sistem otoriter Rahmon. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika ia atau teman-temannya mendebat pemerintah, maka akan dipenjarakan dan teroris diumumkan.
Sementara Pengacara HAM, Faiziniso Vokhidova berbagi pendapat yang sama, memperingatkan bahwa kampanye anti-jilbab pemerintah menghina jutaan muslim Tajik.
“Kami memiliki sebuah negara demokratis dan setiap orang memiliki kebebasan untuk memakai apa yang mereka pilih,” kata Vokhidova.
Link
“Lihatlah pakaian ini, Anda bisa memakainya di sebuah pesta atau acara khusus, tetapi mereka (pemerintah) melarang pakaian ini,” kata salah satu pedagang mengatakan kepada EurasiaNet.org seperti dikutip Onislam Kamis (2/4/2015).
Serangan terhadap jilbab telah berulang setelah Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon mengkritik wanita yang memakai jilbab adalah pakaian “asing”.
Menandai perayaan hari Ibu Nasional di Tajikistan tanggal 8 Maret lalu, Rahmon mengkritik melalui pidatonya bahwa cadar hitam berhubungan dengan Islam konservatif dan tidak diterima di Tajikistan.
Tiga hari setelah pidato itu, televisi pemerintah menyiarkan tayangan membeberkan kisah-kisah pekerja seks yang bersembunyi dibalik jilbab.
Wanita dalam tayangan televisi, sambil menutupi wajahnya mereka dengan kerudung, mengatakan bahwa mereka mendapatkan lebih banyak uang dengan mengenakan jilbab, dan jilbab membuat mereka lebih menarik bagi klien potensial.
Beberapa hari kemudian, inspektur pajak dan polisi Tajikistan melakukan sidak di pasar Sadbarg Dushanbe dan mengatakan kepada salah seorang pemilik toko yang menjual pakaian Islam untuk berhenti.
Salah satu pedagang mengatakan jika ia masih membuka tokonya akan dikenakan denda sekitar $ 1750.
“Saya tidak akan membayar denda ini. Bahkan tidak ada penjelasan resmi saya harus membayar.”
Sementara pedagang lainnya, Nasiba Kholmurodova menuturkan “Ketika saya menjual sesuatu, saya tidak tahu apa yang wanita akan lakukan dengan itu. Saya tidak mengatakan padanya untuk membeli jilbab dan menjadi seorang pelacur,”
Muslim Tajikistan menuduh Rahmon menjalankan sistem otoriter yang memaksa mereka untuk meninggalkan agama mereka.
“Ini adalah kehendak Tuhan. Kita tidak bisa dan tidak berhak untuk menolaknya,” kata Muso Akobirov seorang pekerja imigran yang melakukan perjalanan ke Rusia untuk bekerja musiman.
Akobirov mengeluhkan bahwa ia dan Muslim lainnya tidak memiliki suara dalam sistem otoriter Rahmon. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika ia atau teman-temannya mendebat pemerintah, maka akan dipenjarakan dan teroris diumumkan.
Sementara Pengacara HAM, Faiziniso Vokhidova berbagi pendapat yang sama, memperingatkan bahwa kampanye anti-jilbab pemerintah menghina jutaan muslim Tajik.
“Kami memiliki sebuah negara demokratis dan setiap orang memiliki kebebasan untuk memakai apa yang mereka pilih,” kata Vokhidova.
Link
0 komentar:
Post a Comment
silahkan di komentar yaa..............................